Waktu SD saya sama Kuat, Sarno dan Siwal suka mengaji. Dari yang jaraknya dekat di kampung sendiri di Puntuksari sampai yang jaraknya cukup jauh di Sidodadi pojok. Guru ngaji kami di antaranya adalah Pak Muridan, Pak Waton, Pak Nur, Pak Nono dan Pak Mustofa.
Umumnya beliau-beliau ini menerapkan metode yang sama waktu mengaji, yaitu belajar ngaji untuk hari Senin s.d. Kamis dan ceramah atau mendongeng untuk hari Jumat.
Salah satu materi ceramah yang sangat mengena di hati saya adalah ketika Pak Mustofa berceramah dengan tema njabakke Gusti Allah (mengesampingkan peran Allah). Intinya adalah bahwa kita tidak boleh mengakui bahwa suatu kejadian atau prestasi adalah melulu hasil kemampuan dan usaha kita sendiri tanpa mengakui peran Allah di dalamnya.
Contoh kasusnya begini:
"Wah ... Kalo bukan karena aku, ga bakalan bisa sekolah dia !",
atau
"Kalo ga karena kebaikanku, kamu ga bakalan naik pangkat !",
atau
"Kalo bukan karena aku yang membelikan gula, kolak ini ga bakalan manis !",
dan lain-lain.
Suatu sore sehabis hujan aku bermaksud main ke kebun. Maksudnya aku mau ngincup kinjeng (mencari capung). Karena aku paham sore-sore sehabis hujan adalah saat yang tepat untuk mencari capung. Karena suasana basah dan dingin apalagi sudah sore akan membuat capung malas terbang dan lebih memilih tidur nyenyak. Jadi akan mudah menangkapnya.
Dengan membawa peralatan standar secukupnya (maksudnya kantong plastik bening ukuran 1 kg) saya menuju ke kebun di mana banyak terdapat capung tidur. Sesampainya di kebun ternyata aku disuguhi kejadian cukup unik. Dua ekor ayam jago sedang bertarung. Keduanya sudah tampak lemas sekali dan kepalanya sudah berdarah-darah. Hanya saling mematuk dengan pelan dan lemah karena sudah kehabisan tenaga. Sepertinya saya pernah dengar informasi kalo ayam jago berkelahi dan tidak ada yang kalah, maka mereka akan bertarung sampai mati. Ini bisa saja terjadi jika kedua ayam jago yang tengah bertarung ini tidak dipisahkan.
Akupun segera memisahkan mereka. Salah satu aku pegang dan yang lainnya aku usir jauh-jauh sampai tidak saling melihat. Soalnya kalo masih saling melihat mereka akan saling mengejar dan bertarung lagi sampai mati (benar-benar sebuah kekuatan dan tekad hewan yang patut ditiru oleh manusia. Sangat mengagumkan ...). Akhirnya mereka berhasil aku pisahkan dan selamatlah kedua-duanya.
Aku bangga banget sama prestasiku itu. Tapi masalahnya ... gimana caranya aku cerita sama orang-orang? Karena ingat sama nasehat Pak Mustofa guru ngajiku bahwa kita tidak boleh njabakke Gusti Allah, maka aku tidak berani sembarangan saja cerita-cerita ke orang-orang. Takut dosa.
Aku sempat memikirkan dan mempertimbangkan beberapa kalimat seperti:
"Kalo aku ga datang, kedua ayam itu pasti mati ...!". Jelas ga boleh!
"Kalo ga kupisah, ga tahu deh nasib ayam-ayam itu ...!". Tetap ga boleh!
"Karena Alloh menakdirkan aku untuk mencari capung ke kebun ini sehingga aku menemukan ayam yang sedang bertarung jadinya aku bisa memisahkan mereka dan akhirnya mereka selamat ...". Kepanjangan!
Akibat tidak mampu menemukan kalimat yang tepat, maka baru sekarang ini aku menceritakan kejadian ini. Setelah sekitar +/- 30 tahunan ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar