Lagi-lagi si Kucing Garang gagal terpilih menjadi pengawas para tikus.
Ini adalah kejadian yang kedua kalinya. Hal ini sebenarnya tidak terlalu aneh dan mengherankan.
Kenapa?
Jawabannya mudah sekali. Ini terletak pada siapa-siapa yang bertugas melakukan pemilihan. Manalah ada gerombolan tikus yang mau memilih kucing kuat dan trengginas untuk mengawasi mereka sendiri. Tentu saja mereka takut dijadikan mangsa oleh si kucing itu.
Sebisa mungkin mereka akan memilih kucing yang jinak dan lemah. Bahkan kalau bisa mereka akan pilih kucing anakan yang masih merem dan jalannya masih sempoyongan.
Begitu pula ketika para anggota DPR memilih Ketua KPK. Pada awalnya banyak fraksi berusaha menarik simpati rakyat dengan seolah-oleh mendukung calon terkuat di mata rakyat, yaitu Bambang Widjojanto sebagai Ketua KPK. Padahal mungkin waktu mengucapkan itu bulu kuduk mereka merinding sendiri karena gemetar ketakutan.
Strategi para anggota DPR dalam pemilihan KPK mengingatkan kita pada sebuah kisah dari Perancis tentang syukuran panen anggur di sebuah desa. Di mana dalam syukuran itu seluruh warga desa diwajibkan menyumbangkan seliter anggur yang akan ditampung di satu tong besar. Kepala Desa yang berpikiran licik berpikir bahwa jika dia mengganti anggurnya dengan air pasti tidak akan ketahuan karena akan bercampur dengan ribuan liter anggur sumbangan warga desanya. Sayangnya seluruh isi desa punya pemikiran yang sama dengan pemimpin mereka, sehingga ketika isi tong terkumpul dan dicicipi ternyata rasanya hambar. Karena memang isinya hanya air yang berasal dari sumbangan seluruh isi desa. Dan akhirnya mereka semua merasa malu karena ketahuan telah berbuat tidak jujur.
Inilah yang terjadi di DPR. Karena voting dilakukan secara tertutup maka semua fraksi dengan leluasa berlagak seolah-olah hendak menyumbangkan anggur kepada rakyat dengan mendukung Bambang Widjojanto sebagai calon Ketua KPK. Padahal mereka hanya membawa air biasa. Masing-masing mereka berharap Bambang Widjojanto kalah tetapi suara yang memilihnya cukup banyak. Jadi jika jumlahnya cukup signifikan maka mereka bisa mengaku-ngaku bahwa fraksi merekalah yang telah memilih Bambang Widjojanto demi mengambil hati rakyat.
Tetapi kejadiannya ternyata tidak sesuai dengan perkiraan mereka. Faktanya hampir semua pemilik suara jerih dengan kepemimpinan Si Kucing Buas Bambang Widjojanto di KPK. Dan ketahuanlah belang mereka yang rata-rata hanya membawa air biasa dengan memilih Abraham Samad. Seseorang yang mungkin mereka anggap sebagai seekor anak kucing yang lemah dan mudah diatur.
Sayangnya mungkin kebanyakan dari mereka sudah putus urat malunya. Tidak seperti warga desa yang malu karena ketahuan telah menyumbang air, mungkin mereka malah biasa-biasa saja dengan kejadian ini.
Sekarang kita hanya bisa berharap bahwa penilaian DPR terhadap Abraham Samad salah. Semoga Abraham Samad bukanlah seekor anak kucing lemah yang berjalan sempoyongan seperti perkirakan mereka, tetapi dia adalah seekor singa yang siap melahap semua jenis tikus.
Bukankah para anggota DPR ini dulu juga pernah salah perhitungan ketika memilih Antasari Azhar ?
Antasari Ashar yang mereka pikir jinak dan mudah diatur ternyata menjelma menjadi macan pemangsa para tikus. Utamanya tikus-tikus yang berasal dari senayan.
Semoga saja sejarah kembali terulang …
Tapi itu semua baru mungkin. Hanya Tuhan yang tahu kebenarannya. Bisa saja memang para anggota DPR sudah mulai tobat dan mereka memilih Abraham Samad karena dinilai paling mampu memimpin KPK. Epidemi penyakit saja selalu ada titik balik apalagi epidemi korupsi. Tapi jangan-jangan untuk epidemi yang satu ini memang seperti digambarkan dalam judul film nasional jaman dulu: "TIADA TITIK BALIK ...".
.
Selamat memimpin KPK Pak Abraham Samad …
Jadilah singa buas yang tidak hanya memangsa para tikus, tetapi juga gerombolan heyna yang menggerogoti negeri ini ...
Harapan rakyat ada di pundakmu …
.
Wallahu ‘Alam Bishawab …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar