Di daerah asal saya adalah seorang preman (jaman dulu kami menyebutnya GALI) yang paling terkenal dan legendaris. Sebut saja namanya Bruno (disamarkan). Dia juga seorang residivis yang sering keluar masuk penjara. Penjambretan, perampokan (nggarong), pencurian, perjudian, mabok-mabokan adalah aktifitas yang biasa buat dia. Hampir setiap hari dia mangkal di terminal. Dan saya adalah salah satu penduduk tetap di terminal itu. Rumah saya juga berfungsi sebagai warung makan.
Semua orang takut pada si preman. Mereka rata-rata memilih menghindari berurusan dengan Bruno. Tetapi itu tidak berlaku bagi kami. Saya dan saudara saya yang namanya Ondhot (dialah saudara saya yang pernah makan kinjeng/capung hidup-hidup dan makan ndog cecek asli bareng saya).
Kejadian ini sepertinya berlangsung saat kami berumur sekitar 6 atau 7 tahun. Suatu malam Bruno sedang makan saoto (soto) di tempat Pak Isman (almarhum/semoga berbahagia di alam sana). Karena bentuk warungnya adalah warung tenda standar Indonesia, yaitu berupa atap terpal yang dikelilingi dengan kain sehingga kaki para pembeli akan kelihatan dari luar.
Melihat kaki Bruno lagi makan saoto timbul niat iseng di otak kami berdua.
Mohon dicatat ! Kami, dua orang anak berumur 6-7 tahun, bermaksud mengisengi seorang preman sekaligus residivis paling mengerikan di daerah kami. Sang Raja Tega !!
Selanjutnya kami berdua mencari batangan kayu yang cukup panjang. Dengan kayu itu, lewat celah-celah bagian bawah kain penutup warung kami tusuk-tusuk kaki Bruno. Setiap kali dia terganggu dan mengejar keluar, kami berdua segera lari berpencar dan bersembunyi. Setelah dia kembali masuk warung dan asyik makan soto, kakinya kembali kami tusuk-tusuk dari luar warung. Pertama-tama kami menusuk-nusuk kakinya berdua. Lama-lama kami melakukanya sendiri-sendiri secara bergantian. Yang satu menusuk-nusuk kakinya, yang lainnya bersembunyi. Begitu seterusnya sampai beberapa kali.
Akhirnya mungkin ulah kami sudah melampaui batas kesabaran dia (emang preman punya rasa sabar ya?). Amarahnya memuncak. Dia murka. Rupanya pada kejadian selanjutnya Bruno sudah mempersiapkan respon buat kami.
Saat itu giliran saya yang menusuk-nusuk kakinya. Tidak seperti sebelumnya. Begitu kayu saya masuk melalui celah-celah warung dan belum menyentuh kakinya, dia sudah lari mengejar keluar. Sayapun kabur. Lari tunggang-langgang, mengambil langkah seribu. Mlayu sipat kuping. Tapi apalah daya ...
Larinya seorang anak kalem tanpa daya dan baru berumur 6 tahun dibanding kejaran seorang preman nomor satu di daerah kami. Mungkin kejadiannya mirip seekor anak zebra yang dikejar singa seperti yang sering kita lihat di tv. Akhirnya sayapun kena.
Begitu badan saya kena pegang, tubuh sayapun dibalik. Bruno membuka paksa mulut saya dan selanjutnya. Cuuhhh !!! Cuuhhh !!! Dia meludah sebanyak-banyaknya kemulutku. Brunopun meninggalkan saya yang terduduk lemas di pinggir jalan sambil meludah-ludah juga. Jijik banget rasanya.
Setelah tertangkap tangan sayapun kembali ke terminal. Di terminal saya lihat saudara saya Ondhot tengah terduduk lemas dan termenung.
Berikut itu pembicaraan saya dengan Ondhot.
Saya : " Ndhot. Nyong entes wis keno. Cangkeme nyong didoni Bruno ... ".
("Ndhot. Aku tadi sudah kena. Mulutku diludahi sama Bruno ... ".)
Dengan suara lirih dan memelas dia berkata :
Ondhot : " Nyong yo wis mau ...".
("Saya juga sudah tadi ...".)
Ealaahhh ... Ternyata sebelum saya, dia sudah kena dan mulutnya sudah diludahi duluan oleh Bruno!
Ha .. ha .. ha ..
Akhirnya kamipun tertawa terpingkal-pingkal berdua.
Kejadian itu sama sekali tidak membuat kami kapok ...
Semua orang takut pada si preman. Mereka rata-rata memilih menghindari berurusan dengan Bruno. Tetapi itu tidak berlaku bagi kami. Saya dan saudara saya yang namanya Ondhot (dialah saudara saya yang pernah makan kinjeng/capung hidup-hidup dan makan ndog cecek asli bareng saya).
Kejadian ini sepertinya berlangsung saat kami berumur sekitar 6 atau 7 tahun. Suatu malam Bruno sedang makan saoto (soto) di tempat Pak Isman (almarhum/semoga berbahagia di alam sana). Karena bentuk warungnya adalah warung tenda standar Indonesia, yaitu berupa atap terpal yang dikelilingi dengan kain sehingga kaki para pembeli akan kelihatan dari luar.
Melihat kaki Bruno lagi makan saoto timbul niat iseng di otak kami berdua.
Mohon dicatat ! Kami, dua orang anak berumur 6-7 tahun, bermaksud mengisengi seorang preman sekaligus residivis paling mengerikan di daerah kami. Sang Raja Tega !!
Selanjutnya kami berdua mencari batangan kayu yang cukup panjang. Dengan kayu itu, lewat celah-celah bagian bawah kain penutup warung kami tusuk-tusuk kaki Bruno. Setiap kali dia terganggu dan mengejar keluar, kami berdua segera lari berpencar dan bersembunyi. Setelah dia kembali masuk warung dan asyik makan soto, kakinya kembali kami tusuk-tusuk dari luar warung. Pertama-tama kami menusuk-nusuk kakinya berdua. Lama-lama kami melakukanya sendiri-sendiri secara bergantian. Yang satu menusuk-nusuk kakinya, yang lainnya bersembunyi. Begitu seterusnya sampai beberapa kali.
Akhirnya mungkin ulah kami sudah melampaui batas kesabaran dia (emang preman punya rasa sabar ya?). Amarahnya memuncak. Dia murka. Rupanya pada kejadian selanjutnya Bruno sudah mempersiapkan respon buat kami.
Saat itu giliran saya yang menusuk-nusuk kakinya. Tidak seperti sebelumnya. Begitu kayu saya masuk melalui celah-celah warung dan belum menyentuh kakinya, dia sudah lari mengejar keluar. Sayapun kabur. Lari tunggang-langgang, mengambil langkah seribu. Mlayu sipat kuping. Tapi apalah daya ...
Larinya seorang anak kalem tanpa daya dan baru berumur 6 tahun dibanding kejaran seorang preman nomor satu di daerah kami. Mungkin kejadiannya mirip seekor anak zebra yang dikejar singa seperti yang sering kita lihat di tv. Akhirnya sayapun kena.
Begitu badan saya kena pegang, tubuh sayapun dibalik. Bruno membuka paksa mulut saya dan selanjutnya. Cuuhhh !!! Cuuhhh !!! Dia meludah sebanyak-banyaknya kemulutku. Brunopun meninggalkan saya yang terduduk lemas di pinggir jalan sambil meludah-ludah juga. Jijik banget rasanya.
Setelah tertangkap tangan sayapun kembali ke terminal. Di terminal saya lihat saudara saya Ondhot tengah terduduk lemas dan termenung.
Berikut itu pembicaraan saya dengan Ondhot.
Saya : " Ndhot. Nyong entes wis keno. Cangkeme nyong didoni Bruno ... ".
("Ndhot. Aku tadi sudah kena. Mulutku diludahi sama Bruno ... ".)
Dengan suara lirih dan memelas dia berkata :
Ondhot : " Nyong yo wis mau ...".
("Saya juga sudah tadi ...".)
Ealaahhh ... Ternyata sebelum saya, dia sudah kena dan mulutnya sudah diludahi duluan oleh Bruno!
Ha .. ha .. ha ..
Akhirnya kamipun tertawa terpingkal-pingkal berdua.
Kejadian itu sama sekali tidak membuat kami kapok ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar