Hari-hari terakhir publik ibukota masih dihangatkan pembicaraan tentang peristiwa pemerkosaan di atas angkutan kota (angkot). Memang sangat menyeramkan membayangkan ada seorang perempuan diperkosa di atas angkot. Kejadiannya sudah mirip-mirip film-film psikopath ala Hollywood.
Saya menilai bahwa tindakan pemerkosaan nyaris setara dengan kejahatan pembunuhan. Pelaku layak diganjar dengan hukuman berat. Mungkin Indonesia bisa meniru Filipina yang menerapkan hukuman minimal 12 tahun bagi pelaku pemerkosaan.
Dalam hubungannya dengan sopir angkot, saya kok malah kepikiran terhadap sopir angkot lain yang tidak tahu apa-apa. Sebagai manusia tentulah mereka akan tertekan di tengah sinisnya pandangan masyarakat terhadap mereka akhir-akhir ini. Mereka jadi korban generalisasi. Saya tidak setuju jika ini digeneralisir.
Coba kita gunakan logika kita. Peristiwa 2 kali pemerkosaan di angkot dibandingkan dengan puluhan atau mungkin ratusan ribu sopir angkot yang ada di ibukota tentunya sebuah sampel yang terlalu kecil. Saya setuju jika yang digeneralisir adalah perilaku mereka di jalan raya yang seenaknya sendiri. Karena memang jarang (atau belum pernah) ketemu sopir angkot yang tertib berlalu-lintas. Tindakan terbaik adalah tangkap pelaku, hukum seberat-beratnya dan tindakan pencegahan yang konsisten oleh aparat (sepertinya sudah mulai berjalan. Semoga rutin dilakukan).
Janganlah kita memvonis kebanyakan sopir angkot berpotensi melakukan pemerkosaan. Tingkah laku mereka di jalan raya memang “luar biasa”, tetapi pelaku pemerkosaan umumnya memang sudah memiliki watak dasar sebagai seorang pemerkosa. Dan tentunya ini tidak hanya berlaku di kalangan sopir angkot saja, tetapi bisa juga dari kalangan profesi lain. Kita sering memperoleh informasi tentang pelecehan seksual di kantor, busway, kereta api, dan lain-lain. Bukankah jika di tempat sepi para pelaku pelecehan seksual ini juga berpotensi menjadi pemerkosa? Bahkan seorang yang terhormat sekelas Direktur IMF-pun bisa melakukan pemerkosaan (walaupun belum terbukti secara hukum).
Janganlah aparat hanya waspada terhadap sopir angkot kemudian melalaikan potensi kejahatan pemerkosaan dari pihak lain. Potensi pemerkosaan lebih besar biasanya justru datang dari teman, rekan kerja, keluarga, saudara atau orang lain yang mereka kenal.
Sopir angkot patut digeneralisir untuk perilaku buruk mereka di jalan raya tetapi tidak untuk kasus pemerkosaan. Harus kita ingat, di belakang sopir angkut juga ada tangan-tangan lembut kaum perempuan yang menunggu hasil jerih payah mereka nyetir seharian. Ada perut-perut kecil anak-anak yang menunggu diberi makan.
Sedangkan untuk pro kontra tentang rok mini sebagai penyebab pemerkosaan, saya memiliki pandangan unik yang berbeda dari kedua kubu yang berseberangan.
Saya merasa bahwa terjadinya pemerkosaan sebagian sangat besar adalah memang karena orang tersebut berpikiran kriminal. Seorang laki-laki berpikiran normal (maksudnya bukan penjahat) walaupun melihat ada perempuan cantik naik angkot memakai rok mini atau bahkan memakai bikini sekalipun, paling-paling reaksinya kalau tidak jengah ya malu-malu sambil curi-curi pandang. Tidak ada kemudian kepikiran akan melakukan pemerkosaan.
Tindakan pemerkosaan kemungkinan memang sudah direncanakan atau paling tidak sudah ada keinginan di dalam benaknya. Artinya niatnya sudah ada dalam diri pelaku pemerkosa.
Tetapi jika para pelaku pemerkosaan ini sudah memutuskan untuk melaksanakan niatnya, maka menurut saya para perempuan pemakai rok mini akan berada dalam daftar prioritas utama sebagai korban yang akan mereka pilih.
Jadi lebih berhati-hatilah kalian para pemakai rok mini …
Wallahu ‘Alam Bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar