Bagi banyak orang sesajen mungkin merupakan benda sakral. Tidak ada yang berani ngutak-utik apalagi sampai memakannya. Takut kualat atau terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa mereka. Tetapi itu tidak berlaku bagi golongan kami. Orang-orang bandel yang sehari-hari terbiasa hidup di terminal.
Kalo lagi musim petani bikin sesajen (biasanya musim panen) itu justru adalah saat yang kami tunggu-tunggu. Kami akan berangkat memancing dengan hati riang gembira. Kalo biasanya kami pulang dalam keadaan lapar maka pada musim panen kelaparan tidak menjadi resiko. Karena begitu lapar menyerang kami akan keliling di sawah-sawah petani yang biasa ada sesajennya. Biasanya di tempat petani memisahkan bulir padi dengan batangnya.
Kalo sudah lihat ada sesaji dan orangnya sudah pergi maka satu orang dari kami bertugas mencicipinya. Kalo agen sudah memberi tanda bahwa nasi masih bagus dan belum basi maka kami akan segera berebut. Rame dan menyenangkan sekali. Nasi megono itu terasa luar biasa enak karena proses mendapatkannya yang perlu perjuangan.
Waktu itu mana kami tahu kalo makanan yang dibuat untuk persembahan hukumnya haram. Yang penting masih bisa dimakan langsung kami babat.
Lagian yang bikin sesaji kalo lihat sesajinya habis malah pada senang. Menurut mereka sesajinya diterima dan dimakan para dewa.
Padahal yang menghabiskan adalah gerombolan setan dari terminal. Ha .. ha .. haa ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar