Senin, 25 April 2011

Saya adalah perintis MLM di Indonesia

Saya sebenaranya termasuk orang yang tidak suka atau tidak telaten dengan perdagangan model multi level marketing. Persyaratan seseorang yang akan sukses di bidang MLM sepertinya tidak ada kriterianya dalam diri saya. Tapi Anda jangan dulu meragukan kapasitas sejarah saya di bidang bisnis MLM ini, karena boleh dikata saya turut membidani, atau setidak-tidaknya turut menyaksikan kelahiran bisnis MLM di Indonesia.


Ceritanya begini, saat saya masih kuliah di tingkat I (sepertinya tanggal 17 Juli 1992), saya diajak oleh kakak kelas saya untuk ikut dia pergi ke Gedung Karsa Pemuda, Komplek TVRI, Senayan, Jakarta.
Dia katakan kepada saya dan teman-teman yang lain bahwa kami akan diajak melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan jutaan rupiah dalam sekejap. Walaupun tidak langsung percaya 100%, tetapi tentu saja mendengar iming-iming duit jutaan mata kami langsung seperti direboisasi, hijau semua. Apalagi uang saku dari orang tua kami waktu kuliah paling-paling rata-rata Rp. 75.000,- per bulan.

Saat kami tanyakan pada kakak kelas kami, dia tidak mau menjawab dengan terus terang. Penuh misteri, membiarkan kami berkhayal dengan versi sendiri-sendiri. Karena saya termasuk orang yang berpikir sangat rasional dan penuh logika, maka tebakan pekerjaan dengan kriteria singkat, dapat duit banyak dan berada di daerah Senayan menurut saya adalah membersihkan stadion utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno). Kebetulan waktu itu stadion baru saja dipakai konser oleh Godbless. Argumen saya diterima oleh beberapa teman. Dan kamipun mempersiapkan fisik dan mental untuk menyapu stadion raksasa itu.

Tetapi sesampainya di alamat yang kami tuju, alamaakk … Ternyata kami dikumpulkan di sebuah gedung dan disuruh ikut presentasi bisnis mlm dari AMWAY. Sekarang dikenal dengan istilah "DIPROSPEK". Dan yang lebih memberatkan lagi ternyata kami juga dipungut biaya masuk sebesar Rp. 2.000,-. Sebenarnya kami keberatan dan hampir memilih pulang, tetapi sekali lagi kami berhasil dirayu untuk masuk dan mengorbankan pundi-pundi rupiah kami.

Eiiitss … Jangan menghakimi kami sebagai orang pelit dulu. Uang Rp. 2.000,- pada saat itu bukanlah uang kecil bung! Nasi telur masih Rp. 400,-. Nasi ayam masih Rp. 600,-. Nasi goreng spesial plus emping masih Rp. 900,-, inipun cuma bisa kami nikmati pada saat tanggal-tanggal muda saja. Salah satu temanku bahkan ada yang kiriman per bulannya hanya Rp. 45.000,-. Rp. 1.500,- perhari untuk hidup di Jakarta broer ...

Jadi dia suka beli nasi tempe sebungkus. Separo buat makan pagi, separonya disisakan untuk makan siang nanti. Kalo nasib lagi apes, tidak jarang nasi yang separo sisa tadi pagi sudah dikerubuti semut. Kenapa teman saya memilih strategi beli nasi sebungkus dimakan dua kali dan tidak beli pagi separo siang separo saja? Ini adalah sebuah ide brilian dari teman saya itu. Sekelas strategi pitstop dan team order di Formula 1.

Strategi itu diciptakan untuk mensiasati buruknya ilmu matematika para penjual warteg. Karena kalau beli sebungkus harganya Rp. 250,- tetapi kalau beli separo harganya Rp. 150,-. Padahal seharusnya kan harganya Rp. 125,-. Dengan menerapkan strategi ini, temen saya itu bisa safe sebesar Rp. 50,- di tangan. Padahal sebenarnya bukan matematika penjual warteg yang bodoh, tetapi ilmu akuntansi mereka yang sudah bagus. Kami saja yang waktu itu belum paham masalah fixed cost dan variable cost.

Eee..hh. Kok nglantur. Kembali ke jalur. Dalam pertemuan itu kami mendapat pengarahan mengenai bisnis mlm. Salah satu petinggi Amway yang ikut bicara saat itu yang masih saya ingat namanya adalah Pak Paula Agus. Pada intinya saat itu kami disuruh menjual barang dari rumah ke rumah ataupun dari orang per orang. Barang pertama yang disuruh menjual saat itu adalah pasta gigi dan shampo. Harganya saat itu kalau ga salah adalah Rp. 9.500,- per botol. Tentu saja kami terbelalak (bahkan orang lain yang kebanyakan asli pedagang atau orang-orang etnis Tionghoa yang sudah terbiasa berjualan). Kenapa? Ya karena mahalnya itu. Saat itu shampo dan pasta gigi dengan ukuran yang sama harganya sekitar Rp. 600,-.

Jadi kalo dikalkulasi harga barang-barang produk mereka 15 kali lebih mahal dari barang yang beredar di pasaran. Walaupun menurut mereka banyak kelebihannya, tapi hampir semua dari kami tidak mendaftar dan memilih pulang dengan hati hancur berkeping-keping. Rekening kami bobol sebesar Rp. 4.500,-. Dengan rincian ongkos angkutan pulang balik enam kali ganti bus sebesar Rp. 600,- (waktu itu dengan mengaku mahasiswa, ongkos sekali naik bus adalah Rp. 100,-), tiket masuk Rp. 2.000,- dan dimahali waktu makan indomie telur sebesar Rp. 1900,- (normalnya harga di pasaran adalah sebesar Rp. 900,-).
Saya yang dasarnya ga bisa berpikir serius cuma tertawa-tertawa saja, tetapi teman saya yang saya ceritakan tadi pulang dengan kepala tertunduk. Dia menyatakan bahwa seminggu ke depan dia harus menerapkan strategi baru, yaitu cuma makan dua kali sehari.

Bagi saya sendiri, ini adalah salah satu cerita yang cukup manis untuk dikenang. Entahlah untuk teman-teman yang lain ...

*) Tulisan ini saya persembahkan untuk para petarung sejati : M. Subkhi, A.A. Romansyah, Kusnadi, dan teman-teman yang saya tidak ingat satu-persatu.

Tidak ada komentar: