Ini kejadian waktu saya masih kecil banget. Belum sekolah rasanya. Waktu itu warung mbah putri saya masih ada di dalam komplek Pasar Sapuran, belum pindah ke terminal.
Warung mbah putriku merupakan deretan warung yang saling menempel yang berjumlah lima warung makan. Semacam komplek ruko kalo jaman sekarang. Urut-urutan warung dari kiri ke kanan adalah warung mbah Kasrati, lalu warung mbah putriku, mbah Sambudi, Pak Abas dan warung yang paling pokok adalah kepunyaan mbah Abu.
Dari semua warung itu warung punya mbah putriku adalah yang paling laris dan warung punya mbah Abu adalah yang paling tidak laku. Mungkin karena dagangannya yang kurang lengkap.
Tetapi jangan dibayangkan bahwa sesama pemilik warung itu saling bersaing. Malahan kehidupan kami di situ sangat akur. Saling bertukar masakan, saling berkunjung dan kegiatan lain yang menunjukkan keakraban. Mereka merasa sudah punya pelanggan sendiri-sendiri dan menerima rejeki yang diberikan Allah buat mereka.
Keadaan yang cukup sulit ditemukan sekarang ini. Sebuah era yang materialistik. Saya paling senang menginap (mlanjar) di warungnya mbah Abu. Karena di sana ada teman saya yang namanya Wakijo (kisah tentang dia ada di sini : Gajah Aneh).
Suatu hari bapaknya Wakijo meninggal dunia, jadilah mereka 4 bersaudara yatim piatu. Karena sebelumnya ibu mereka sudah meninggal dunia. Sejak itulah mereka yang masih kecil-kecil harus mengelola warung makannya yang kecil itu untuk menghidupi mereka sendiri. Saudara perempuan mereka yang bernama Waginah-lah yang mau tidak mau harus menjadi juru masak. Padahal saat itu dia masih SD.
Tentu saja boleh dikata Waginah ini belum bisa masak sama sekali. Dia kebingungan membuat sayur agar berwarna merah, kuning atau warna-warna lain sesuai jenis masakannya. Makanya akhirnya dia menggunakan teres (pewarna) untuk mewarnai masakannya. Sudah bisa ditebak rasanya kan ? Tidak enak sama sekali.
Tetapi apakah pelanggan warung mereka hilang sama sekali. Di sinilah kelebihan orang jaman dahulu. Rupanya karena merasa iba melihat keadaan mereka, para pelanggan tetap datang dan makan di warung mereka. Contohnya adalah salah seorang pelanggan mereka yang berprofesi sebagai guru (saya lupa nama beliau). Setiap hari beliau tetap datang dan makan di warung itu. Beliau selalu hanya makan nasi putih dan telur ceplok (karena tidak doyan masakan yang lain) demi tetap menjadi pelanggan mereka. Sungguh suatu nilai kemanusiaan yang luar biasa.
Dan keluarga kamipun tidak tinggal diam. Ibuku beberapa kali mendatangi warung itu untuk mengajari Waginah cara memasak berbagai jenis makanan sampai bisa. Dan warung itupun masih bisa survive ...
Alkhamdulillah ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar