Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan Surodilogo Kelabu sebelumnya.
Bisa dibayangkan. Empat anak kecil berada di lereng gunung yang dingin tanpa bekal makanan, minuman ataupun sekedar selimut saja. Bahkan pakaian yang dikenakanpun seadanya.
Ketika malam tiba kami kami berjalan-jalan kesana kemari. Lemas dan lapar. Melihat penjual jagung bakar gigit jari. Melihat penjual wedang jahe, cuma bisa kepingin. Lihat penjual bakso. ngiler. Akhirnya saking laparnya kami membuat keputusan. Kami harus survive. Kami harus hidup untuk menceritakan semua ini kepada dunia.
Kamipun berpikir untuk mendapatkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Pasang mata pasang telinga. Empat sekawan beraksi. Setelah kami perhatikan, ternyata ada sumber makanan yang cukup berlimpah di sekitar kami. Yaitu jagung bakar yang dibuang pembelinya karena tidak habis dimakan. Sisa-sisa jagung bakar banyak bertebaran di sepanjang jalanan di lokasi tersebut.
Tengok sana ... tengok sini ...
Yakin ga ada yang melihat kamipun mengambil jagung bakar di jalanan. Kami makan dengan lahap. Uenake puooll. Walapun ada sedikit rasa tanah dan pasir. Minumnya cukup dari parit-parit yang masih bening.
Setelah cukup kenyang kami berjalan turun menuju lapangan.
Dalam perjalanan itu kami berempat melihat sebuah plastik bening tergeletak di tengah jalan. Di dalamnya tampak sebutir kacang telur yang sangat menggoda. Adrenalin kami berempat tiba-tiba meningkat tajam. Kami seperti empat cowboy yang bersiap-siap mencabut pistol untuk saling menembak.
Selanjutnya ... Gabruk !!!. Gabruk !!! Gabruk !!!
Kami berempat saling tubruk rebutan mengambilnya.
Dan saya keluar sebagai pemenangnya. Akhirnya sebutir berlian itu menjadi milikku. Sebutir kacang telur paling enak dalam hidupku.
Perjalanan dilanjutkan. Target selanjutnya adalah mencari tempat untuk tidur. Pertama-tama kami mencoba tidur di batu-batu besar yang banyak terdapat di situ. Baru beberapa menit mencobanya kami sudah menggigil kedinginan. Kamipun segera bangun dan mencari lokasi lain yang lebih nyaman. Secara tidak sengaja kami bertemu dengan teman sekampung kami. Malam itu akhirnya kami mendapat tempat berteduh. Untel-untelan. Berdesak-desakan. Kami tidak peduli. Yang penting ada tempat untuk bernaung malam ini.
Tetapi jangan dikira kami sudah mendapatkan kenyamanan. Malam itu kami tidur dengan pakaian seadanya tanpa jaket tanpa selimut. Saat itu pakaian kami terasa seperti basah tersiram air es. Dingin luar biasa. Malam terasa panjang banget pokoknya. Pikiran kami hanya ingin pagi segera tiba dan kami akan cepat-cepat pulang ke rumah.
Bersambung lagi ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar