Beberapa bulan pertama kerja di Sampit saya masih merasa mbok-mboken (untuk sich bakatku seumur hidup). Setiap malam kangen sama ibu, nenek, adik-adik dan handai taulan yang lain. Juga kepada tanah kelahiranku.
Hampir setiap malam aku duduk di kursi di depan kamar kost-kostanku memandang ke arah langit sebelah timur sambil berkhayal tentang orang-orang dan kampung tercinta nun jauh di seberang sana (belakangan baru aku sadari bahwa aku menghadap ke arah yang salah. Seharusnya aku menghadap ke selatan. Itu juga karena diingetin sama Afga teman sekamarku. Pantesan aku ga balik-balik ke Pulau Jawa).
Walaupun mbok-mboken tapi soal sikap soliderku sama temen jangan ditanya ya ...
Dalam keadaan sengsara kita tidak boleh terus memandang ke atas. Itu akan selalu membuat kita tersandung-sandung. Kita harus proporsional. Di saat senang memandang ke atas agar tidak dihinggapi rasa sombong. Di saat susah kita memandang ke bawah agar kita tahu bahwa masih bayak orang yang nasibnya lebih buruk dari kita. Ini akan membuat sikap optimis kita tetap terjaga.
Sikap itu tidak hanya menjadi slogan dalam hidupku. Tetapi sudah aku praktekkan dalam kenyataan.
Sebagai salah satu contoh saja. Suatu pagi di saat aku merasa kesepian dan kangen pingin pulang, akau ingat bahwa banyak temanku yang posisi koordinat kantornya beberapa kali lipat lebih jauh dari posisiku saat itu.
Salah satu contoh yang paling nyata adalah temanku Herjanto. KPP Dili terletak di Timor Timur. Itu tiga kali lebih jauh dari pada Sampit. Dengan mengingat Herjanto aku menjadi merasa sedikit lebih baik. Untuk jasa-jasanya itulah pagi itu aku menelepon dia.
"Halo. Selamat pagi ..."
"Selamat pagi ..."
"Apakah ini KPP Dili ?"
"Ya. Ada yang bisa kami bantu ?"
"Saya mau berbicara dengan teman saya Herjanto ..."
"Baik. Tunggu sebentar ya ..."
Beberapa saat kemudian:
"Halo ..."
"Ya halo. Apakah ini Herjanto ?"
"Ya benar. Ini siapa ya ?"
"Halo Her. Saya Widayat ..."
"Widayaaaat ... Ya ampuuunnn. Terima kasih Wiid ... Kamu mau menelepon aku ... Kamu masih ingat aku ... Terima kasih Wid ... dst ... dst ...".
Yach ... Hanya orang-orang terpilih untuk mengenal Herjanto secara pribadi saja yang bisa memperoleh karunia dan kesempatan untuk bisa membayangkan betapa lebay suara dan tingkah laku dia pagi itu ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar